Adanya
konflik agama di Indonesia
Adanya konflik
agama di Indonesia akhir-akhir ini menjadi masalah besar bagi Negara. Konflik antar
agama ini biasanya disebabkan oleh seorang propokator yang mulai masuk dan
menghasut mereka. Pengaruh peperangan antara Negara Israel dan Palestina juga
menjadi dampak adanya konflik di Indonesia. Memang konflik antar agama ini
sudah sangat sering terjadi di Negara liberal, namun seharusnya di Indonesia dilarang
saling untuk melakukan konflik antar agama. Ini di karenakan Negara Indonesia memiliki
Pancasila sebagai asas Negara Indonesia dan UUD 1945 sebagai landasan idiil
serta hukum di Indonesia.
Salah satu
contoh yang saya amati belangkangan ini adalah munculnya pertentangan dari
agama islam untuk mendirikan sebuah gereja sebagai tempat peribadahan. Pertentangan
tersebut tidak lain muncul dari propokator yang berusaha menghasut para umat
muslim untuk tidak menerima gereja dibangun di wilayah tersebut. Padahal sudah
jelas bahwa tempat peribadahan boleh didirikan karena ada Undang-undang nomor 9 Tahun 2006 dan nomor 8 Tahun 2006
yang mengatur soal pendirian tempat ibadah. Undang-undang tersebut sudah
merupakan keputusan antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Dalam pandangan penulis,
menyelesaikan berbagai konflik beragama harus dimulai dari individu
beragama itu sendiri. Mereka harus menyadari bahwa setiap agama memiliki teks
dan ajaran yang terkadang tafsirnya masih ambigu, yang berakibat pada praktik
dan keyakinan beragama yang berbeda. Untuk itulah dibutuhkan toleransi.
Membangun kehidupan bermasyarakat tanpa memandang perbedaan agama, tentu
merupakan awal yang sangat positif, karena tidak ada upaya perdamaian agama
yang lebih baik, selain dialog dalam kehidupan sehari-hari. Yang tak kalah
pentingnya adalah peran tokoh-tokoh agama, yang harus memberikan
pemahaman keagamaan yang damai, dan tidak menonjolkan perbedaan untuk
mendiskreditkan orang lain.
Sebagai panutan umat, mereka harus menyatakan bahwa urusan kebenaran agama adalah urusan pribadi (dalam Islam, bagimu agamamu, bagiku agamaku), yang tak boleh diganggu siapapun. Dalam mengeluarkan fatwa, para ulama tidak boleh semata-mata mendasarkan pandangannya pada penafsiran keagamaan yang sempit, tetapi sebaliknya harus meletakkannya dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia yang pada kenyataannya terdiri atas berbagai kelompok yang berbeda, bukan saja intra agama, tetapi bahkan antar agama.
Pada tingkat negara, pemerintah harus kembali pada konstitusi, Undang-Udang Dasar 1945, yang telah secara jelas memberikan jaminan kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan kepada setiap pemeluk agama. Pemerintah harus memainkan perannya sebagai bapak yang adil dan bijaksana dan menghindari politisasi perbedaan keyakinan untuk kepentingan politik. Di lain pihak, aparat keamanan dan hukum harus bertindak tegas terhadap mereka yang mencoba mengusik ketenangan beragama. Mereka tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang hanya membela kepentingan kelompok tertentu.
Sebagai kesimpulan, akar konflik agama tidaklah tunggal yang semata-mata berdasarkan perbedaan keyakinan dan doktrin, sehingga penyelesaiannya harus mempertimbangkan faktor politik, ekonomi dan sosial, dan lain-lain. Di sisi lain, perbedaan dalam beragama harus dihormati, bahkan dijadikan sebagai rahmat bagi umat manusia .
Sebagai panutan umat, mereka harus menyatakan bahwa urusan kebenaran agama adalah urusan pribadi (dalam Islam, bagimu agamamu, bagiku agamaku), yang tak boleh diganggu siapapun. Dalam mengeluarkan fatwa, para ulama tidak boleh semata-mata mendasarkan pandangannya pada penafsiran keagamaan yang sempit, tetapi sebaliknya harus meletakkannya dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia yang pada kenyataannya terdiri atas berbagai kelompok yang berbeda, bukan saja intra agama, tetapi bahkan antar agama.
Pada tingkat negara, pemerintah harus kembali pada konstitusi, Undang-Udang Dasar 1945, yang telah secara jelas memberikan jaminan kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan kepada setiap pemeluk agama. Pemerintah harus memainkan perannya sebagai bapak yang adil dan bijaksana dan menghindari politisasi perbedaan keyakinan untuk kepentingan politik. Di lain pihak, aparat keamanan dan hukum harus bertindak tegas terhadap mereka yang mencoba mengusik ketenangan beragama. Mereka tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang hanya membela kepentingan kelompok tertentu.
Sebagai kesimpulan, akar konflik agama tidaklah tunggal yang semata-mata berdasarkan perbedaan keyakinan dan doktrin, sehingga penyelesaiannya harus mempertimbangkan faktor politik, ekonomi dan sosial, dan lain-lain. Di sisi lain, perbedaan dalam beragama harus dihormati, bahkan dijadikan sebagai rahmat bagi umat manusia .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar